IF CLAUSE
DIRECT AND INDIRECT SPEECH
Direct
speech and Indirect Speech
Direct Speect is a sentence spoken directly
by the speaker and if the sentence is written will be quoted. While Indirect
Speech is a phrase that we report to others indirectly and without any commas.
example:
Reporting verbs: Tono says,
Reported words "I'm very good at
English"
Tense yang harus kita perhatikan dalam pola ini yaitu:
Direct Speech:
Simple Present Tense
Present Continuous Tense
Present Perfect Tense
Present Perfect Continuous Tense
Simple Past Tense
Simple Future Tense
Future Continouos Tense
Conditional
Direct Speech:
Simple Present Tense
Present Continuous Tense
Present Perfect Tense
Present Perfect Continuous Tense
Simple Past Tense
Simple Future Tense
Future Continouos Tense
Conditional
Indirect Speech:
Simple Past Tense
Past Continuous Tense
Past Perfect Tense
Past Perfect Continuous Tense
Past Perfect Tense
Past Future Tense/Conditional
Past Future Continuous Tense (Conditional Continuous)
Conditional
Tugas Bahasa Inggris
Nama : Asep Badru Zaman
Kelas : 4EA06
NPM : 11210166
READMORE
Kelas : 4EA06
NPM : 11210166
1.
George is cooking dinner to night
s V.phrase complement modifier of time
2.
We can
eat lunch
in this restaurant today
S
V.phrase complement
modifier of place modifier of time
3.
Pat should have bought gasoline yesterday
S V.phrase complement modifier of time
4.
She opened
a checking account at the bank last week
S V.completes complement modifier of place modifier of time
5.
He was
driving very fast
S V.phrase complement
6.
She drove the car
on the street
S V.completes complement
modifier of place
7.
We girls are not going to that movie
S V.phrase
modifier of place
8.
The chemistry professor canceled
class today
S V.completes complement modifier of place
9.
She must
have gone to the book
S V.phrase modifier of place
10.
The weather was very
bad yesterday
S V complement modifier
of place
(Naun
phrase)
Konflik dalam Etika Bisnis
1. Teori
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang
berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu
proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah
satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau
membuatnya tidak berdaya.
Tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar
anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang
bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu
dalam suatu interaksi.
perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik,
kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan
dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan
situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak
satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau
dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan
hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik bertentangan dengan integrasi.
Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik
yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. sebaliknya, integrasi yang tidak
sempurna dapat menciptakan konflik.
Definisi konflik
Ada beberapa pengertian konflik menurut beberapa ahli.
1.
Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977), konflik merupakan warisan
kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada
berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara
dua pihak atau lebih pihak secara berterusan.
2.
Menurut Gibson, et al (1997: 437), hubungan selain dapat menciptakan
kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini
terjadi jika masing – masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau
tujuan sendiri – sendiri dan tidak bekerja sama satu sama lain.
3.
Menurut Robbin (1996), keberadaan konflik dalam organisasi ditentukan oleh
persepsi individu atau kelompok. Jika mereka tidak menyadari adanya konflik di
dalam organisasi maka secara umum konflik tersebut dianggap tidak ada.
Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan bahwa di dalam organisasi telah ada
konflik maka konflik tersebut telah menjadi kenyataan.
4.
Dipandang sebagai perilaku, konflik merupakan bentuk minteraktif yang
terjadi pada tingkatan individual, interpersonal, kelompok atau pada tingkatan
organisasi (Muchlas, 1999). Konflik ini terutama pada tingkatan individual yang
sangat dekat hubungannya dengan stres.
5.
Menurut Minnery (1985), Konflik organisasi merupakan interaksi antara dua
atau lebih pihak yang satu sama lain berhubungan dan saling tergantung, namun
terpisahkan oleh perbedaan tujuan.
6.
Konflik dalam organisasi sering terjadi tidak simetris terjadi hanya satu
pihak yang sadar dan memberikan respon terhadap konflik tersebut. Atau, satu
pihak mempersepsikan adanya pihak lain yang telah atau akan menyerang secara
negatif (Robbins, 1993).
7.
Konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan individu lain,
kelompok dengan kelompok lain karena beberapa alasan. Dalam pandangan ini,
pertikaian menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau lebih individu yang
diekspresikan, diingat, dan dialami (Pace & Faules, 1994:249).
8.
Konflik dapat dirasakan, diketahui, diekspresikan melalui perilaku-perilaku
komunikasi (Folger & Poole: 1984).
9.
Konflik senantisa berpusat pada beberapa penyebab utama, yakni tujuan yang
ingin dicapai, alokasi sumber – sumber yang dibagikan, keputusan yang diambil,
maupun perilaku setiap pihak yang terlibat (Myers,1982:234-237; Kreps,
1986:185; Stewart, 1993:341).
10. Interaksi yang disebut komunikasi
antara individu yang satu dengan yang lainnya, tak dapat disangkal akan
menimbulkan konflik dalam level yang berbeda – beda (Devito, 1995:381)
Konflik Menurut Robbin
Robbin (1996: 431) mengatakan konflik dalam organisasi disebut sebagai The
Conflict Paradoks, yaitu pandangan bahwa di sisi konflik dianggap dapat
meningkatkan kinerja kelompok, tetapi di sisi lain kebanyakan kelompok dan
organisasi berusaha untuk meminimalisasikan konflik. Pandangan ini dibagi
menjadi tiga bagian, antara lain:
1.
Pandangan tradisional (The Traditional View). Pandangan ini menyatakan
bahwa konflik itu hal yang buruk, sesuatu yang negatif, merugikan, dan harus
dihindari. Konflik disinonimkan dengan istilah violence, destruction, dan
irrationality. Konflik ini merupakan suatu hasil disfungsional akibat
komunikasi yang buruk, kurang kepercayaan, keterbukaan di antara orang – orang,
dan kegagalaan manajer untuk tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi karyawan.
2.
Pandangan hubungan manusia (The Human Relation View. Pandangan ini
menyatakan bahwa konflik dianggap sebagai suatu peristiwa yang wajar terjadi di
dalam kelompok atau organisasi. Konflik dianggap sebagai sesuatu yang tidak
dapat dihindari karena di dalam kelompok atau organisasi pasti terjadi
perbedaan pandangan atau pendapat antar anggota. Oleh karena itu, konflik harus
dijadikan sebagai suatu hal yang bermanfaat guna mendorong peningkatan kinerja
organisasi. Dengan kata lain, konflik harus dijadikan sebagai motivasi untuk
melakukan inovasi atau perubahan di dalam tubuh kelompok atau organisasi.
3.
Pandangan interaksionis (The Interactionist View). Pandangan ini cenderung
mendorong suatu kelompok atau organisasi terjadinya konflik. Hal ini disebabkan
suatu organisasi yang kooperatif, tenang, damai, dan serasi cenderung menjadi
statis, apatis, tidak aspiratif, dan tidak inovatif. Oleh karena itu, menurut
pandangan ini, konflik perlu dipertahankan pada tingkat minimum secara
berkelanjutan sehingga tiap anggota di dalam kelompok tersebut tetap semangat,
kritis – diri, dan kreatif.
Konflik Menurut Stoner dan Freeman
Stoner dan Freeman(1989:392) membagi pandangan menjadi dua bagian, yaitu
pandangan tradisional (Old view) dan pandangan modern (Current View):
1.
Pandangan tradisional. Pandangan tradisional menganggap bahwa konflik dapat
dihindari. Hal ini disebabkan konflik dapat mengacaukan organisasi dan mencegah
pencapaian tujuan yang optimal. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan yang
optimal, konflik harus dihilangkan. Konflik biasanya disebabkan oleh kesalahan
manajer dalam merancang dan memimpin organisasi. Dikarenakan kesalahan ini,
manajer sebagai pihak manajemen bertugas meminimalisasikan konflik.
2.
Pandangan modern. Konflik tidak dapat dihindari. Hal ini disebabkan banyak
faktor, antara lain struktur organisasi, perbedaan tujuan, persepsi, nilai –
nilai, dan sebagainya. Konflik dapat mengurangi kinerja organisasi dalam
berbagai tingkatan. Jika terjadi konflik, manajer sebagai pihak manajemen
bertugas mengelola konflik sehingga tercipta kinerja yang optimal untuk
mencapai tujuan bersama.
Konflik Menurut Myers
Selain pandangan menurut Robbin dan Stoner dan Freeman, konflik dipahami
berdasarkan dua sudut pandang, yaitu: tradisional dan kontemporer (Myers,
1993:234)
1.
Dalam pandangan tradisional, konflik dianggap sebagai sesuatu yang buruk
yang harus dihindari. Pandangan ini sangat menghindari adanya konflik karena
dinilai sebagai faktor penyebab pecahnya suatu kelompok atau organisasi. Bahkan
seringkali konflik dikaitkan dengan kemarahan, agresivitas, dan pertentangan
baik secara fisik maupun dengan kata-kata kasar. Apabila telah terjadi konflik,
pasti akan menimbulkan sikap emosi dari tiap orang di kelompok atau organisasi
itu sehingga akan menimbulkan konflik yang lebih besar. Oleh karena itu,
menurut pandangan tradisional, konflik haruslah dihindari.
2.
Pandangan kontemporer mengenai konflik didasarkan pada anggapan bahwa
konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan sebagai konsekuensi logis
interaksi manusia. Namun, yang menjadi persoalan adalah bukan bagaimana meredam
konflik, tapi bagaimana menanganinya secara tepat sehingga tidak merusak
hubungan antarpribadi bahkan merusak tujuan organisasi. Konflik dianggap
sebagai suatu hal yang wajar di dalam organisasi. Konflik bukan dijadikan suatu
hal yang destruktif, melainkan harus dijadikan suatu hal konstruktif untuk
membangun organisasi tersebut, misalnnya bagaimana cara peningkatan kinerja
organisasi.
Konflik Menurut Peneliti Lainnya
1.
Konflik terjadi karena adanya interaksi yang disebut komunikasi. Hal ini
dimaksudkan apabila kita ingin mengetahui konflik berarti kita harus mengetahui
kemampuan dan perilaku komunikasi. Semua konflik mengandung komunikasi, tapi
tidak semua konflik berakar pada komunikasi yang buruk. Menurut Myers, Jika
komunikasi adalah suatu proses transaksi yang berupaya mempertemukan perbedaan
individu secara bersama-sama untuk mencari kesamaan makna, maka dalam proses
itu, pasti ada konflik (1982: 234). Konflik pun tidak hanya diungkapkan secara
verbal tapi juga diungkapkan secara nonverbal seperti dalam bentuk raut muka,
gerak badan, yang mengekspresikan pertentangan (Stewart & Logan, 1993:341).
Konflik tidak selalu diidentifikasikan sebagai terjadinya saling baku hantam
antara dua pihak yang berseteru, tetapi juga diidentifikasikan sebagai ‘perang
dingin’ antara dua pihak karena tidak diekspresikan langsung melalui kata –
kata yang mengandung amarah.
2.
Konflik tidak selamanya berkonotasi buruk, tapi bisa menjadi sumber
pengalaman positif (Stewart & Logan, 1993:342). Hal ini dimaksudkan bahwa
konflik dapat menjadi sarana pembelajaran dalam memanajemen suatu kelompok atau
organisasi. Konflik tidak selamanya membawa dampak buruk, tetapi juga
memberikan pelajaran dan hikmah di balik adanya perseteruan pihak – pihak yang
terkait. Pelajaran itu dapat berupa bagaimana cara menghindari konflik yang
sama supaya tidak terulang kembali di masa yang akan datang dan bagaimana cara
mengatasi konflik yang sama apabila sewaktu – waktu terjadi kembali.
2. Kasus/Artikel
JAKARTA, SENIN — Terhambatnya
pembangunan di daerah-daerah perbatasan antara lain
merupakan buntut dari persoalan konflik internal di daerah tersebut. Akibatnya,
pembangunan perbatasan masih belum bisa mengupayakan kesejahteraan rakyatnya.
Hal tersebut dikatakan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Umar Anggara Jenie di sela-sela seminar"Masalah Pembangunan di Perbatasan: Upaya Pengentasan Kemiskinan dan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat" di LIPI Jakarta, Senin (16/2). "Level paradigma penanganan persoalan konflik di perbatasan harus diganti dengan pembangunan kesejahteraan wilayahnya," ungkap Umar.
Menurutnya, banyaknya warga miskin di daerah tertinggal menjadi masalah yang ironi. Sebab, ketertinggalan itu justru memicu persoalan lain, seperti masalah sosial, keamanan, serta masalah kebangsaan.
Selain itu, lemahnya koordinasi antarinstansi termasuk penyaluran modal masih belum jernih sehingga penundaan lebih kerap terjadi. "Ditambah lagi permasalahan warisan yang ditinggalkan penjajahan yang mengakibatkan kemiskinan yang berlarut-larut," tambah Umar.
Perlu penanganan multi disiplin dan kerja sama berbagai pemangku kepentingan, dalam upaya pembangunan daerah tertinggal. Pemerintah dalam satu sisi berfungsi sebagaipromotor serta memberi stimulus fiskal, papar Umar. Sedangkan lembaga lainnya bisa masuk dalam berbagai bidang, seperti pendidikan, kesehatan, dan masalah upaya pembangunan sumber daya manusia.
Hal tersebut dikatakan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Umar Anggara Jenie di sela-sela seminar"Masalah Pembangunan di Perbatasan: Upaya Pengentasan Kemiskinan dan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat" di LIPI Jakarta, Senin (16/2). "Level paradigma penanganan persoalan konflik di perbatasan harus diganti dengan pembangunan kesejahteraan wilayahnya," ungkap Umar.
Menurutnya, banyaknya warga miskin di daerah tertinggal menjadi masalah yang ironi. Sebab, ketertinggalan itu justru memicu persoalan lain, seperti masalah sosial, keamanan, serta masalah kebangsaan.
Selain itu, lemahnya koordinasi antarinstansi termasuk penyaluran modal masih belum jernih sehingga penundaan lebih kerap terjadi. "Ditambah lagi permasalahan warisan yang ditinggalkan penjajahan yang mengakibatkan kemiskinan yang berlarut-larut," tambah Umar.
Perlu penanganan multi disiplin dan kerja sama berbagai pemangku kepentingan, dalam upaya pembangunan daerah tertinggal. Pemerintah dalam satu sisi berfungsi sebagaipromotor serta memberi stimulus fiskal, papar Umar. Sedangkan lembaga lainnya bisa masuk dalam berbagai bidang, seperti pendidikan, kesehatan, dan masalah upaya pembangunan sumber daya manusia.
3. Analisis
Berdasarkan artikel diatas, terhambatnya
pembangunan di daerah-daerah perbatasan menimbulkan konflik internal di daerah
tersebut. Konflik ini dapat terjadi karena lemahnya koordinasi antar instansi
termasuk penyaluran modal masih belum jernih yang mengakibatkan terjadi
penundaan dan terhambatnya pembangunan di daerah-daerah perbatasan.
Konflik seperti ini harus cepat diatasi jika dilihat menurut “kacamata” etika bisnis, karena kasus konflik ini merugikan banyak pihak. Terutama merugikan masyarakat daerah sekitar.
Konflik seperti ini harus cepat diatasi jika dilihat menurut “kacamata” etika bisnis, karena kasus konflik ini merugikan banyak pihak. Terutama merugikan masyarakat daerah sekitar.
4. Referensi
Hubungan anata Etika Bisnis dan Korupsi beserta Contoh Kasusnya
1.
Teori
a.
Pengertian Korupsi
Definisi korupsi (bahasa Latin:corruptio dari kata kerja corrumpere=
busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) menurut Transparency International adalah
perilaku pejabat publik, baik politikus|politisi maupun pegawai negeri, yang
secara tidak wajar dan tidak legalmemperkaya diri atau memperkaya
mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang
dipercayakan kepada mereka.
Dari sudut pandang hukum, tindak
pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur sbb:
·
perbuatan melawan hukum;
·
penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana;
·
memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;
·
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
Selain itu terdapat beberapa
jenis tindak pidana korupsi yang lain, diantaranya:
·
memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);
·
penggelapan dalam jabatan;
·
pemerasan dalam jabatan;
·
ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);
·
menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan
jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah|pemerintahan
rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang
paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan
menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan
sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnyapemerintahan
oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama
sekali.
Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa
berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering
memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan
prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk
mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan
antara korupsi dan kriminalitas|kejahatan.
Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang
dianggap korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang
legal di satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain.
b.
Pengertian Etika Bisnis
Etika bisnis merupakan cara untuk melakukan kegiatan bisnis,
yang mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan individu, perusahaan dan juga
masyarakat. Etika Bisnis dalam suatu perusahaan dapat membentuk nilai, norma
dan perilaku karyawan serta pimpinan dalam membangun hubungan yang adil dan
sehat dengan pelanggan/mitra kerja, pemegang saham, masyarakat.
c.
Hubungan antara Korupsi dan Etika
Bisnis
Hubungan antara etika bisnis dengan korupsi dalam hal ini etika bisnis
menyangkut moral, kontak sosial, hak-hak dan kewajiban, prinsip-prinsip dan
aturan-aturan. Sedangkan praktek korupsi adalah tindakan tidak bermoral
dan beretika, dan merugikan banyak orang dalam dunia bisnis.
2.
Contoh kasus/artikel
Tragedi Besar: Karakter Korup sudah Menjebol sampai Level Ketua MK Akil
Mochtar
Apalagi yang kurang dari
‘prestasi’ bangsa kita? Eksekutif korup, Legislatif korup, Yudikatif juga
korup. Trias Coruptia. Patut diingat bahwa ‘prestasi’ ini juga
makin dilengkapi dengan kasus penyelewengan yang dilakukan oleh seorang Guru
Besar ITB beberapa waktu yang lalu (baca lebih jauh: Kasus SKK Migas
Rudi Rubiandini: Dosen ITB Teladan Mafia Migas), jadi makin
lengkap setelah ditambah kenyataan kalangan akademis juga bisa korup. Tragedi
paling terakhir yang melibatkan ketua MK Akil Mochtar amat
menyesakkan. Sedemikian percayanya rakyat selama ini dengan Mahkamah
Konstitusi, justru pengkhianatan yang di dapat. Logikanya: kalau ketua MK nya
saja sudah korup, bagaimana anak buahnya? Bagaimana hakim-hakim kecilnya?
Mahkamah Konstitusi kalau diibaratkan mungkin seperti ‘tangan Tuhan’ di Indonesia,
sebab pemutus tertinggi ada di level MK. Bagaimana jadinya nasib bangsa ini
kalau ‘tangan Tuhan’ sudah dikuasai mafia, siapa lagi yang bisa
n |
dipercaya? Tega benar Ketua
MK Akil Mochtar (kalau nanti terbukti) berkhianat. Lulusan Universitas
Padjajaran ini sudah keterlaluan, sumpah serapah pun tidak cukup, dia harus
dituntut hukuman mati. Harga mati. Menjadi bagian dari mafia dengan kewenangan
sedemikian besar, apa bedanya dengan pengkhianat negara dan desertir? Menjual
keputusan penting di tingkat peradilan MK sama saja dengan menjual nasib bangsa
ini, ini sama saja dengan melacurkan Indonesia. Jelas sebuah kejahatan yang
lebih biadab dari bandar narkotika, patut dituntut sampai ke liang kubur.
Betapa memalukan manusia ini, apa tidak ada hal
yang lebih halal untuk ‘dilacurkan’?
3.
Analisis Kasus/Artikel
Korupsi merupakan perbuatan yang
melanggar hukum. Dan sayangnya orang yang mengerti hukum pun bisa melakukan
tindakan korupsi. Kasus korupsi ketua MK Akil Mochtar , telah mencoreng instasi
pemerintahan khususnya Mahkamah Konstitusi yang merupakan petinggi hukum di
Indonesia. Sangat di sayangkan pimpinan tertinggi hukum Indonesia bisa
melakukan perbuatan yang melanggar hukum itu.
Bicara mengenai etika bisnis
dimana terjadi hubungan antara 2 belah pihak atau lebih dimana kedua pihak
harus sama – sama mengetahui apa hak dan tanggung jawab masing – masing. Win
win solution adalah ungkapan yang bisa dikatakan sebagai persetujuan kedua
belah pihak. Dalam konteks korupsi tentunya ada pihak yang mengambil keuntungan
lebih banyak dan ada satu pihak yang merasa dirugikan. Bisa dikatakan bahwa
pihak yang korupsi tidak memahami konsep etika bisnis yang baik.
4.
Referensi
n |
Langganan:
Postingan (Atom)